Ego yang kerap kali muncul dalam diri kita, terkadang menghapus sekecil apapun kebaikan orang lain. Bahkan orang lain dianggap kerdil dan hina oleh sikap meremehkan itu. Namun ego tersebut mampu dihilangkan bila saling menghargai dan menghormati antar sesama. Indahnya bila hal itu terjadi, tentunya perselisihan kecil dan luka yang kecil mampu diredam dengan sikap positif kita terhadap orang lain.
Alangkah sedihnya negeri ini bila sikap ego kita tumbuh berkembang. Di tengah himpitan kesulitan menghadang bangsa ini, hiruk pikuk problematika yang kian tak berkesudahan, sementara sikap egois yang hanya mau memenangkan pribadi-pribadi yang haus akan kekuasaan berkembang biak. Mungkin dalam diri kita sudah sekian banyak dosa yang menumpuk, hingga tak mampu melihat riak-riak diri
Pribadi egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya.
Dia tidak bisa memahami pikiran orang, perasaan orang, jadi selalu menuntut orang untuk mengikuti pendapatnya. Pribadi egois juga adalah pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, dia tidak bisa mempertimbangkan kebutuhan orang, dia senantiasa mengedepankan kebutuhannya di atas kebutuhan orang. Itu sebabnya kita simpulkan bahwa pribadi yang egois adalah pribadi yang susah sekali untuk tulus, sebab ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri.
Pribadi egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya. Dia tidak bisa memahami pikiran orang, perasaan orang, jadi selalu menuntut orang untuk mengikuti pendapatnya. Pribadi egois juga adalah pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, dia tidak bisa mempertimbangkan kebutuhan orang, dia senantiasa mengedepankan kebutuhannya di atas kebutuhan orang. Itu sebabnya kita simpulkan bahwa pribadi yang egois adalah pribadi yang susah sekali untuk tulus, sebab ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri.
Kesedihan, kesenangan, rasa sedih, senang, bahagia dan semacamnya itu memang egois. Di saat orang lain senang, belum tentu kita bisa merasakan kesenangan bersama atau untuk orang itu. Apalagi jika kita sebenarnya sedang bersedih. Di saat orang lain sedih, belum tentu kita juga benar-benar bersedih bersama dan untuk orang itu. Apalagi jika sebenarnya kita sedang bahagia. Begitu sebaliknya jika itu terjadi pada kita. Paling hanya „sekedar“ ucapan bernada simpati: saya ikut sedih atau saya ikut senang. Tapi toh rasanya tidak akan pernah bisa sama dengan rasa yang sedang dialami orang yang bersangkutan.
Jangan-jangan ungkapan semacam itu pun nantinya hanya akan jadi sekedar basa-basi tak bermakna, setelah itu menghilang. Menguap hanya jadi sekedar kata.
Tapi mengapa, jika hanya sekedar kata, saat kita merasa senang, kita tetap saja tidak bisa mengungkapkannya hanya karena „melihat“ orang lain sedang bersedih? „Tidak enak, tidak etis, orang lain bersedih, kita gembira. Bagaimana jika kita yang mengalaminya?“ Begitu selalu –katanya- Jika hanya sekedar kata, mengapa pula saat kita sedih, kita pun tak bisa mengungkapkannya, hanya karena orang-orang di sekitar kita sedang gembira? “Jangan dikatakan, tidak enak, nanti bisa merusak suasana”. Juga selalu begitu –katanya-.
Ternyata benar bukan, rasa senang dan sedih itu memang egois. Hanya bisa dinikmati sendiri. Karena kalau terjadi di saat dan tempat yang –egoisnya- „tidak tepat“ salah-salah bisa membuat „tidak enak“. Apa harus peduli? Bahkan rasa peduli pun ternyata egois. Semuanya jadi bergantung pada kepentingan diri sendiri. Egois kan?
Apakah bukan egois juga namanya, jika kita merasa senang karena sahabat kita “tersandung” sesuatu yang justru akan membuatnya semakin kuat dan sabar? Merasa senang karena kita tahu bahwa di depan kesulitan itu akan ada kebahagiaan yang sudah menantinya, karena dia menjalani kesulitannya dengan sabar? Apakah bukan egois juga, jika kita justru merasa sedih melihat sahabat kita “senang” karena sesuatu yang akan membuatnya terlena dan terpuruk? Karena “kesenangan” yang berlebihan itu ternyata membuatnya lupa pada kesulitan yang siap menghadangnya?
Sekali lagi, ternyata kesenangan dan kesedihan itu memang egois. Dan sepertinya saya adalah seorang yang egois, karena saya senang melihat sahabat saya „tersandung“ dan dia bersabar bangkit untuk kemudian berjalan lagi. Betapa saya senang sekali diijinkan mendukung dan membantunya bangkit. Saya sedih melihat sahabat saya „senang“ karena dengan „senangnya“ dia melupakan banyak hal. Termasuk: hidup masih harus terus dijalani, sementara waktu tidak menunggu. Betapa saya sedih sekali, ketika dia tidak mengijinkan saya memutus "kesenangannya" itu, lalu melihat kenyataan bahwa dia memilih dengan „senang“nya berjalan dalam „kesenangan“ semunya.
0 Response to "Sikap Egois..."
Post a Comment